Simpel, Untukmu Agamamu dan Untukku Agamaku

redaksi
10 Min Read

 Oleh: Fathurroji NK

SUARAMASJID.com| JUMAT, 23 Desember 2016. Tertanggal 14 Desember 2016, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 56 Tahun 2016 tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non-Muslim. Sontak saja, fatwa MUI ini menjadi polemik di masyarakat. Fatwa ini muncul setelah adanya laporan dari masyarakat terkait keharusan memakai atribut non muslim untuk karyawan muslim di beberapa perusahaan non muslim.

Atribut keagamaan yang dimaksud dalam Fatwa MUI adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan  sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama tertentu.

Setelah mengkaji berbagai dalil dari al-Quran, hadis serta pendapat para ulama Islam, maka MUI menetapkan, bahwa menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram, begitu juga mengajak dan/atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.

Ketua Umum MUI KH Ma’ruf Amin mengatakan, Fatwa MUI Nomor 56 itu dibuat dalam rangka penghormatan kepada prinsip kebinnekaan dan kerukunan beragama di Indonesia. Makna dari kebinnekaan adalah kesadaran terhadap perbedaan, termasuk perbedaan dalam menjalankan keyakinan agamanya.

“Dengan demikian faktor penting dalam prinsip kebinnekaan adalah adanya saling menghormati dan tidak memaksakan keyakinannya tersebut kepada orang lain,” kata Kiai Ma’ruf. Setiap bentuk pemaksaan keyakinan kepada orang lain adalah bertentangan dengan HAM dan konstitusi.

Kiai Ma’ruf menegaskan, bahwa fatwa tersebut ditujukan kepada umat Islam dan menjaga akidah dan keyakinannya, serta melarang pihak mana pun untuk mengajak dan/atau memerintahkan kepada umat Islam untuk menggunakan atribut keagamaan non-Muslim, karena hal itu bertentangan dengan akidah dan keyakinannya.

Sebagian orang awam, yang awalnya tidak tahu atau tidak mau tahu tentang bagaimana hukum mengenakan atribut keagamaan non muslim adalah haram, akan terperanjat kaget atau malah cuek masa bodoh. Karena sebagian mereka menganggap memakai atribut itu bagian dari sebuah toleransi untuk menghormati agama lain.

Saya menilai fatwa tersebut lahir karena sudah menjadi tugas MUI untuk memberikan bimbingan kepada umat Islam dalam menjalankan ajaran agama. Jadi, fatwa MUI sebagai bentuk tanggung jawab guna membimbing umat ketika umat belum tahu hukum dalam Islam.

Saya berterima kasih kepada MUI yang telah memberitahukan perihal hukum itu. Artinya, MUI memiliki kepedulian terhadap umat Islam dalam hal menjalankan agama Islam. Saya husnudzan, di dalam MUI terdapat para ulama, kiai, dan ustadz yang ilmu keagamaannya di atas saya yang awam. Makanya, alangkah sombongnya saya jika menolak fatwa MUI itu atas dalih toleransi. Lalu kepada siapa lagi umat Islam di negeri ini bertanya soal hukum Islam, jika tidak pada MUI?  Apa mau bertanya kepada tetangga sebalah?

Keberadaan MUI bagi umat Islam sebagai benteng umat Islam untuk mengerti tentang hukum Islam. Sebagai sebuah organisasi yang di dalamnya terdapat para kiai, ustadz atau tokoh masyarakat dari berbagai latar belakang organisasi Islam. MUI hadir sebagai perekat umat atas perbedaan-perbedaan yang ada selama ini. Karena itu, sangat tidak elok jika kita yang muslim mencibir, bahkan tak sedikit yang mencaci fatwa-fatwa yang keluar dari MUI. Apakah kita masih mengharap fatwa dari tetangga sebelah soal hukum Islam?

Fatwa MUI ini bahkan memunculkan banyak statemen dari petinggi negeri ini. Seperti statemen sosok sekaliber Menteri Agama di situs viva.co.id, yang mengatakan bahwa, “Fatwa itu kan mengikat bagi yang memintanya. Jadi oleh karenanya bagi yang tidak meminta, maka tentu tidak terikat dengan isi fatwa itu. Itu yang saya ketahui dari fatwa itu,” kata Lukman di kantor Menko Polhukam, Jakarta, Selasa, 20 Desember 2016.

Sebagai orang awam, saya kembali berpikir, masak ya, ketika saya tidak meminta fatwa, lalu lahir sebuah fatwa yang diusulkan oleh sekelompok masyarakat, maka saya yang muslim tidak terikat dengan fatwa tersebut. Misalnya saja terkait fatwa hukum bunga bank yang melatarbelakangi berdirinya bank syariah di negeri ini, di sana jelas sekali fatwa MUI sangat berperan. Lalu karena saya tidak meminta fatwa tersebut, saya lantas tidak terikat dengan fatwa tentang riba itu? Ah, masak ya too…?

Tak heran jika kemudian Sekretaris Jenderal MUI Dr. H. Anwar Abbas menyesalkan pernyataan Menteri Agama RI, yang mengatakan fatwa MUI tidak mengikat. Menurutnya, sebagai seorang pejabat pemerintah apalagi sebagai Menteri Agama tidak sepantasnya beliau mengucapkan hal itu.

“Seharusnya beliau (Menteri Agama) menyadari bahwa sebagai sebuah wadah yang di dalamnya berhimpun para ulama dari berbagai ormas dan kelembagaan Islam, MUI menjadi benteng utama dalam menyampaikan fatwa keagamaan,” demikian seperti diunggah Republika.co.id, Kamis (22/12).

Bahkan Kapolri Jenderal Tito Karnavian menegaskan bahwa Fatwa MUI bukan hukum positif. Sehingga, kata dia tidak bisa dijadikan rujukan bagi jajaran kepolisian di semua tingkatan untuk membuat surat edaran dengan referensi Fatwa MUI.

“Fatwa MUI bukan hukum positif. Itu sifatnya koordinasi, bukan rujukan yang kemudian ditegakkan,” tegas Tito seusai diskusi bertajuk “Merangkai Indonesia dalam Kebhinnekaan” di Aula Lateif, Universitas Negeri Jakarta , Rawamangun, Jakarta Timur, seperti diunggah beritasatu.com, Senin (19/12).

Menyikapi statemen Kapolri ini, Ketua Komisi Hukum MUI, Prof Habib Muhammad Baharun menegaskan bahwa fatwa MUI merupakan sumber hukum positif. “Hal ini selaras dengn konstitusi, dan nilai sila pertama ketuhanan Yang Maha Esa, Pancasila adalah bukti bahwa hukum positif harus dipengaruhi sila pertama,” kata Baharun seperti dikutip Republika.co.id, Selasa (20/12).

Prof Baharun menegaskan, hukum positif kita adalah hukum yang memiliki roh ketuhanan Yang Maha Esa atau dalam istilah agama Islam adalah tauhid. Karena itu, menurutnya, fatwa MUI telah menjadi hukum yang berkembang di masyarakat dan mengikat umat Islam.

Prof Baharun berharap Kapolri seharusnya tahu, banyak bukti fatwa MUI menjadi sumber hukum positif. Di antaranya Undang-Undang Keuangan Syariah itu sumbernya adalah fatwa Dewan Syariah Nasional MUI. Kemudian fatwa itu diundangkan menjadi hukum positif.

Bagi penulis, persoalan yang mencuat sepekan ini tentang atribut non muslim ini sebenarnya sederhana dan simpel. Umat Islam ingin menjalankan ajaran Islam yang dianutnya, sementara manajemen perusahaan ingin karyawan muslim yang bekerja di perusahaannya ikut memeriahkan hari raya dengan memakai atribut non Islam, yang sejatinya itu dilarang dalam Islam.

Artinya, ketika menajemen perusahaan membuat aturan yang ‘kaku’ agar karyawannya mengenakan atribut non Islam, berarti secara tidak langsung ia telah ‘memaksakan’ karyawan muslim untuk melanggar ajaran agama yang dianutnya. Pertanyaannya, apakah begitu toleransi? Jawablah di hati masing-masing.

Bagi karyawan muslim ini menjadi buah simalakama, ketika ia mengenakan atribut non Islam maka ia telah melanggar ajaran agama Islam, sementara ketika ia tidak memakai atribut sesuai aturan perusahaan maka ia akan di‘tegur’ manajemennya bisa jadi sanksi akan ia dapati. Karena itu persoalan keimanan dalam hati, maka keputusan ada pada masing-masing muslim yang menghadapainya. Apakah ia akan ikuti ajaran Islam atau ikuti aturan perusahaan. Hidup adalah pilihan.

Menyikapi kondisi ini, sebagian umat Islam mengambil tindakan terlalu jauh dengan melakukan sweeping ke beberapa tempat yang masih menerapkan aturan pemakaian atribut non muslim untuk karyawan muslim. Padahal jelas, MUI melarang tindakan yang berbau anarkis.

“Sejak dulu sampai sekarang dan sampai kapan pun, MUI tidak akan memberikan toleransi kepada masyarakat dan ormas Islam untuk melakukan eksekusi dan melakukan sweeping,” kata Ketua MUI Kiai Ma’ruf dirilis Republika.co.id, Selasa (20/12).

Kiai Ma’ruf menjelaskan, yang berhak melakukan eksekusi adalah pemerintah. Karenanya, MUI meminta pemerintah untuk melindungi masyarakat agar mencegah terjadinya pemaksaan kepada masyarakat Muslim untuk menggunakan atribut-atribut keagamaan non-Muslim.

Marilah kita jaga kerukunan antarumat beragama dengan saling menghormati keberagamaan kita masing-masing. Yang non muslim hendaknya memahami bahwa pengenaan atribut non Islam bagi Muslim hukumnya haram dan jika dilakukan maka akan mendapatkan dosa. Jika yang non Muslim tetap memaksakannya, maka itu namanya pemaksaan dan melanggar hak asasi manusia.

Yang Muslim, jika masih menemukan pemaksaan pemakaian atribut non muslim kepada karyawan Muslim, hendaknya melaporkan kepada aparat kepolisian bersama tokoh masyarakat Muslim di sekitarnya. Bisa jadi, manajemen perusahaan belum tahu soal isi fatwa MUI ini sehingga mereka tetap ngotot menerapkan aturan memakai atribut non Islam.

Di beberapa daerah, walikota telah mengeluarkan surat edaran tegas akan memperingatkan perusahaan yang memaksakan karyawannya mengenakan atribut non Islam kepada karyawan Muslim. Seperti di Makassar, Depok, Bukittinggi dan lain sebagainya.

Saya yakin, meski pihak perusahaan yang ingin memeriahkan suasana lebaran non Islam tanpa harus mengajak karyawan muslim mengenakan atribut non muslim, lebaran akan tetap meriah. Apakah sudah sedemikian sepikah sehingga perlu melibatkan umat Islam untuk memeriahkan lebaran non Islam? Saya yakin tidak. Marilah kita jalankan agama kita masing-masing, tanpa harus mengusik keberagamaan pemeluk agama lain. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku. Simpel bukan? Wallahualam bisshowab []

 

 

⇒ Kunjungi dan Dapatkan Berita Seputar Masjid dengan Cepat di ⇒ GOOGLE NEWS ⇐

Share This Article
Translate »