SUARA MASJID | Jakarta–Setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia selalu memperingati Hari Pahlawan. Sebuah perlawanan arek-arek Suroboyo yang dipimpin Bung Tomo sengit mempejuangkan menghalau penjajah dari Surabaya. Semangat juang ini pasalnya karena adanya Resolusi Jihad yang dikeluarkan KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama pada 22 Oktober 1945.
Atas lahirnya Resolusi Jihad itu, akhirnya Presiden Joko Widodo menetapkan tanggal tersebut sebagai Hari Santri Nasional melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015. Resolusi Jihad itu dibacakan oleh KH Hasyim Asy’ari dan dikirimkan ke para santri dan para pejuang.
KH Hasyim Asy’ari dilahirkan pada tanggal 10 April 1875 atau menurut penanggalan arab pada tanggal 24 Dzulqaidah 1287H di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Beliau wafat pada tanggal 25 Juli 1947 yang kemudian dikebumikan di Tebu Ireng, Jombang.
KH Hasyim Asyari merupakan putra dari pasangan Kyai Asyari dan Halimah, Ayahnya Kyai Ashari merupakan seorang pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ia anak ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis keturunan ibunya, KH Hasyim Ashari merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang).
Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Ia nyantri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo, Pesantren Langitan, Tuban, Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kyai Cholil. Lalu Pesantren Siwalan di Sidoarjo.
Tahun 1893, KH Hasyim Asy’ari berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi.
Tahun 1899 pulang ke Tanah Air, KH Hasyim Asy’ari mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng dari sebidang tanah yang ia beli dari seorang dalang. Selain sebagai Kyai, ia juga seorang petani dan pedagang sukses.
Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. Seperti KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal.
Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya.
Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana.
Saat pendudukan Jepang, KH Hasyim Asy’ari menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami).
Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya. Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, ia dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri.
Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat usaha dari Kyai Wahid Hasyim dan Kyai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.
Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya). Dengan alasan mengurus tawanan Jepang, KH Hasyim Asy’ari bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut.
Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu.
Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 November kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional. [fat]