Serambinya khas ala Betawi, ornamen yang membalut masjid ini juga khas kebudayaan Betawi. Tak heran jika masjid yang berdiri dekat dengan Setu Babakan ini menjadi kebanggaan warga Betawi.
Pancaran sinar mentari yang begitu terik menyambut kami, ketika melangkahkan kaki menuju serambi masjid ini. Rimbunan pepohonan ditingkahi semilir sang bayu menghantar rasa damai dalam hati. Panorama Danau Setu Babakan tepat di belakang masjid semakin menambah indahnya keagungan ilahi.
Sementara itu , indahnya menara yang menjulang seakan memanggil-manggil hati yang rindu untuk segera mendekat ke rumah-Nya. Itulah Masjid Raya Baitul Makmur yang berlokasi di kawasan Perkampungan Budaya Betawi Srengseh Sawah Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Masjid yang memang dibangun sebagai simbol masyarakat Betawi ini, telah berdiri sejak tahun 1963 yang sekaligus mengiringi keberadaan komunitas Betawi disana. Masjid Baitul Makmur ini menjadi masjid tertua dan menjadi kebanggaan orang Betawi di wilayah ini.
Awal berdirinya masjid ini dulunya adalah berbentuk surau (langgar) yang sudah ada sekitar tahun 1958 dan dibangun atas tanah wakaf milik warga Srengseh Sawah bernama Engkong Jaba. Langgar itu kemudian dipindahkan ke rumah Haji Miat Bin Buang dengan luas tanah 200 meter. Pada tahun 1968 langgar dipindahkan kembali ke tempat semula hingga saat ini.
Pada tahun 1978, Gubernur DKI Jakarta, Tjokropranolo meminta warga Srengseng Sawah agar memberikan tanah 1.000 meter dan akhirnya permintaan itu terealisasi dengan direspon oleh H. Miat yang mewakafkan tananhnya untuk perluasan areal masjid dan dimulailah renovasi masjid saat itu.
Selang pergantian masa jabatan Gubernur, tepatnya Agustus 2002 saat kepemimpinan Gubernur Sutiyoso dicetuskan untuk melakukan renovasi tahap kedua dengan arsiteknya adalah H. Agus Asenie yang sekaligus ketua tim Pengelola Perkampungan Budaya Betawi (PPBB). Akhirnya masa renovasi selesai pada tahun 2004.
Kini, bangunan dengan arsitek Budaya Betawi ini berdiri di lokasi seluas 2140 meter persegi diatas tanah wakaf. Wakif dari tanah tersebut adalah sebuah keluarga besar dan di wakafkan sejak tahun 1963.
Bangunan berlantai dua, kontruksi beton bertulang dan dipenuhi dengan ornamen asli Betawi . Ornamen-ornamen tersebut terbuat dari kayu jati pilihan. Atap dari genteng pilihan dengan warna alami yang tahan cuaca. Lantai terbuat dari beton dilapis granit. Halaman terbuat dari beton blok yang kuat.
Berdirinya masjid ini memang didominasi oleh bentuk arsitektur dari budaya Betawi. Bentuk itu terlihat dari bangunan dan ornamen serta ukiran khas Betawi yang menghiasi setiap sudut-sudut ruangan itu.
Masjid ini seraya mirip dengan rumah tradisional khas Betawi yang diantaranya adalah bentuk atap mengadopsi tipe Joglo dan banyak masyarakat menyebutnya dengan Joglo Betawi yang merupakan kolaborasi dari Budaya Jawa.
Sebelum memasuki areal masjid, sang arsitek sengaja membuat pintu gerbang terbuat dari kayu jati dengan ukuran cukup rendah dan dibiarkan terbuka lebar. Hal itu membuat kesan luas dan nyaman agar sirkulasi udara dan hawa segar dapat dirasakan sepenuhnya oleh jamaah yang berkunjung.
Pada pagar-pagar pendek penutup bangunan depan dan samping masjid, terhias indah dengan motif ukiran Betawi. Demikian juga dengan atap yang merumbai di atasnya. Sementara menara masjid setinggi 35 meter yang berdiri kokoh berhias motif bergaya ala Betawi dan Arab.
Bagian depan masjid yang merupakan serambi dihias tiang-tiang kayu penyangga bersambung beton bewarna cat putih. Jumlah tiang keseluruhan berjumlah 99 tiang. Bagian depan masjid (serambi) lantainya terbuat dari keramik bertekstur bordir batu palimanan.
Serambi selebar 1,5 meter biasa digunakan sebagai tempat istirahat ataupun tempat shalat. Serambi itu berciri khas Betawi, yaitu Langkan atau pembatas yang terbuat dari kayu atau bambu. Setiap Langkan diberi hiasan lis pelang gigi baling. Seperti diketahui, lis pelang berfungsi memberi aksen keindahan pada bangunan khas Betawi dan diberi warna krem kecokelatan.
Penggunaan bahan kayu memang mengambil porsi cukup banyak, terutama pada interior bangunan. Hal tersebut diakui memiliki makna khusus, yaitu biasanya rumah tradisional Betawi dibuat dari kayu atau bambu sehingga mengesankan menyatu dengan alam.
Nuansa alami memberikan rasa nyaman dan segar. Itulah yang terlihat pada keseluruhan hiasan bangunan masjid dari pemakaian bahan kayu yang selebihnya dipadukan dengan sejumlah bahan material lainnya, seperti tembok dan aluminium.
Sementara itu, menelisik bagian dalam ruang shalat bagian utama masjid, warna tradisional tetap terjaga. Hal itu terwakili dengan bentuk pintu dan jendela beradun sirip horizontal khas Betawi. Untuk kubah masjid, memang tidak dibangun seperti kubah masjid kebanyakan, yaitu setengah lingkaran.
Namun kubah Masjid Baitul Makmur lagi-lagi dibuat berciri khas Betawi yaitu menjulang lancip keatas dengan poros kubah berlambangkan bulan sabit dan bintang. Sekeliling masjid dari depan, samping hingga belakang tetemapil sepetak taman kecil dengan tanaman-tanaman hias nan elok dan yang cukup membanggakan.
Masjid kebanggan masyarakat Betawi ini juga memiliki bagian utama, yaitu halaman tengah, depan yang difungsikan untuk tempat parkir kendaraan, kemudian teras (serambi depan) dan ruang dalam.
Disudut depan terdapat menara yang dipergunakan untuk mengumandangkan adzan dan disempurnakan dengan tempat wudhu jamaah pria dan wanita di sebelah kanan-kiri masjid. Untuk ruang utama shalat, masjid ini dapat menampung 200 jama’ah, namun ketika sholat Jumat masjid dipenuhi sekitar 600 jam’ah. [fathur]